Nafkah Istri Menurut Fikih dan Praktiknya di Pengadilan Agama: Kajian Masa Perkawinan dan Pasca Perceraian
Oleh Dr. H. Al Fitri, S.Ag., S.H., M.H.I.
(Wakil Ketua PA Kota Cimahi dan Dosen Fakultas Hukum & Ilmu Sosial UMKO)
e-Mail: alfitri7@gmail.com
Latar belakang
Nafkah istri merupakan suatu kewajiban fundamental bagi seorang suami sebagaimana yang telah diatur dalam fikih. Kewajiban ini tidak hanya sekedar menyangkut pemenuhan kebutuhan materi seperti sandang, pangan, dan papan, akan tetapi juga aspek non-materi yang mendukung kesejahteraan lahir dan batin bagi istri selama berada dalam ikatan perkawinan. Dalam fikih kewajiban nafkah istri telah menjadi konsensus fuqáhak. Meski demikian, para imam mazhab berbeda pendapat mengenai besaran dan standar nafkah yang wajib diberikan suami. Kewajiban nafkah suami kepada istri berlaku selama ikatan perkawinan masih sah. Namun, ketika terjadi perceraian, para imam mazhab memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai nafkah pasca perceraian, yang meliputi nafkah iddáh, mut’ah, dan upah menyusui (ujráh al-radha’). Sementara itu dalam konteks hukum positif di Indonesia, ketentuan mengenai nafkah istri diakomodasi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta diperinci lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Inpres Nomor 1 Tahun 1991). Selain itu, pengaturan konkret mengenai nafkah seringkali terwujud dalam putusan-putusan pengadilan agama yang berfungsi menegakkan dan mengaktualisasikan norma fikih dalam praktik peradilan.
Berita Terkait: